Kamis, 14 Januari 2021

DASAR ILMU WARIS DETAIL DAN MUDAH

KERABAT LAKI-LAKI YANG BERHAK MENERIMA WARISAN ADA 15 ORANG:
1. Anak laki-laki 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki 3. Bapak 4. Kakek / ayahnya ayah 5. Saudara laki-laki sekandung 6. Saudara laki-laki sebapak 7. Saudara laki-laki seibu 8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 10. Suami 11. Paman sekandung 12. Paman sebapak 13. Anak dari paman laki-laki sekandung 14. Anak dari paman laki-laki sebapak 15. Laki-laki yang memerdekakan budak Selain yang disebut di atas termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris.
(Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 775-776)

AHLI WARIS PEREMPUAN SECARA TERPERINCI ADA 11 ORANG:
1. Anak perempuan 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki 3. Ibu 4. Nenek / ibunya ibu 5. Nenek / ibunya bapak 6. Nenek / ibunya kakek 7. Saudari sekandung 8. Saudari sebapak 9. Saudari seibu 10. Isteri 11. Wanita yang memerdekakan budak Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta waris.
(Lihat Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776)

RINGKASAN PENTING:
1. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.
2. Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung
3. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.

PERINCIAN BAGIAN SETIAP AHLI WARIS DAN PERSYARATANNYA:
Bagian Anak Laki-Laki :
1. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
2. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
3. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
4. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.
Bagian Ayah:
1. Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
2. Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat ½ dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa).
3. Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat ½, ayah mendapat 1/6 plus ashabah.
Mengenai seorang anak wanita mendapat ½, lihat keterangan berikutnya.
Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan Kakek (datuk).
Bagian Kakek:
1. Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki.
2. Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia.
3. Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita.
Misalnya si mati meninggalkan kakek dan suami. Maka suami mendapatkan ½, lebihnya untuk kakek. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1 4. Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat ½, kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa).
Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagianya.
Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya.
(Silahkan membaca kitab Mualimul Faraidh, hal. 44-49 dan Tashil Fara’idh, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 28 dan kitab lainnya).
Bagian Suami:
1. Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
2. Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan.
Bagian anak perempuan:
1. Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki.
2. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki.
3. Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.
Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki:
1. Mendapat ½, bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempaun.
3. Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki.
4. Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian.
Bagian Isteri 1. Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu 2. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu 3. Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu Bagian Ibu 1. Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu 2. Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari 3. Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak 4. Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa) 5. Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa). Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki.
(Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 778-779 dan Al-Mualimul Fara’idh, hal. 35).
Bagian Nenek (Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek):
1. Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
2. Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu.
(Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 780).
Bagian Saudari Sekandung:
1. Mendapat ½, jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak.
2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.
3. Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.
Bagian Saudari Sebapak:
1. Mendapat ½, jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung.
2. Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung.
3. Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak.
4. Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian.
Bagian Saudara Seibu (Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya):
1. Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek.
2. Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek.

Oleh: Habib Hamid Albin Hamid
Referensi: 
- Keterangan Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron.
- Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus(7-8)/Tahun IX/1426H./2005M.
- Ditulis berdasarkan kitab Mualimul Fara’idh, Tashil Fara’idh (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin), Mukhtashar Fiqhul Islam, dan kitab-kitab lainnya.

Minggu, 13 September 2020

2 rokaat untuk yang baru meninggal

Rasulullah saw bersabda; "hal yang paling ditakuti oleh orang yang baru meninggal adalah malam pertama mereka dikuburan, maka kasihanilah mereka dengan cara bersodaqah (dan pahalanya niatkan untuk yang meninggal), jika tidak bisa melakukannya maka gantilah dengan sholat sunnah 2 roka'at dan di setiap roka'atnya membaca alfatehah sekali lalu ayat kursi sekaliو surat at-takatsur sekali dan surat al-ikhlas sebelas kali, kemudia setelah salam bacalah doa;
اللَّهُمَّ إِنِّيْ صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلَاةَ وَتَعْلَمُ مَاأُرِيْدُ, اللَّهُمَّ ابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ... (sebutkan nama).
barang siapa yang melakukan sholat tersebut allah swt akan mengirim pada saat itu juga ke kuburan orang tersebut seribu malaikat, yang setiap malaikatnya membawa cahaya untuk menerangi kuburannya dan membawa hadiah untuk menghiburnya sampai ditiupkannya sangkakala (hari kiamat).

dan ada riwayat-pula yang menyatakan bahwa orang yang melakukan sholat tersebut akan mendapat pahala yang luar biasa dan insyaallah kelak disaat akan meninggal allah swt akan memperlihatkan surga kepadanya, dan sebagian ulama' mengatakan; "sungguh beruntung orang yang rajin melaksanakan sholat tersebut setiap malamnya dan menghadiahkan pahalanya kepada segenap muslim yang sudah meninggal".

sumber;
كتاب فوائد المختارة
كتاب فتح العلام

Rabu, 08 Juli 2020

Hukum Barang Temuan

ada beberpa hukum bagi yang menemukan barang tergantung barang temuannya:

1) Makanan
a- jika makanannya cepat basi maka boleh langsung dimakan, dengan catatan bila sudah tahu pemiliknya harus menggantinya
b- jika makanannya tidak langsung basi maka harus diumumkan selama 3 - 7 hari, setelah itu boleh dimakan dengan catatan yang sama seperti sebelumnya

2) Barang (selain makanan)
a- jika barang itu remeh (sekiranya orang yang kehilangan tidak mencarinya / mudah merelakannya) seperti; uang 2000Rp, dan barang murah lainnya, maka boleh langsung diambil/digunakan, dengan catatan apabila bertemu pemiliknya harus dikembalikan
b- jika barang itu berharga maka wajibnya hukumnya bagi yang menemukan membuat pengumuman selama 1 tahun ditempat dia menemukan barang tersebut dan di tempat ramai seperti; masjid atau alun-alun
setelah diumumkan selama 1 tahun barulah dia boleh memilikinya / menggunakannya dengan catatan sama seperti sebelumnya
c- jika barang temuan tidak remeh tapi juga tidak berharga (yang kehilangan masih mencarinya tapi tidak lama) seperti; uang 20.000Rp dan semisalnya
maka bagi yang menemukan wajib memgumumkan selama 1 minggu di tempat dia menemukan dan di tempat ramai, setelah itu dia boleh memilikinya dengan catatan seperti sebelumnya

3) Binatang atau Barang yang butuh perawatan lainnya seperti; motor, laptop dan semisalnya yang harus dipanaskan setiap pagi (kalau motor), dan harus diberi makan/dirawat semisal binatang
maka hukumnya sama seperti barang berharga dan bagi yang menemukan boleh meminta ganti perawatan kepada pemiliknya jika nanti sudah bertemu dengan pemiliknya

Nb:
1) cara mengumumkan bagi yang 1 tahun
harus diumumkan ditempat barang ditemukan dan ditempat ramai disekitarnya dengan cara; diumumkan setiap hari selama 6 bulan, lalu bulan ke-7 diumumkan setiap  seminggu sekali, lalu dibulan ke-9 setiap 2 minggu sekali, lalu selanjutnya setiap sebulan sekali
2) apakah wajib bagi kita mengambil barang temuan?
jawabannya:
- jika kita satu-satunya orang amanah di daerah tersebut maka Fardhu 'Ain bagi kita mengambilnya
- jika kita bukan satu-satunya orang yang amanah maka hukum mengambilnya Fardhu Kifayah
- jika kita yakin bahwa kita tidak amanah atau rasa hawatir kita besar kalau nanti kita tidak amanah (takut dipakai dan semisalnya) maka haram baginya mengambil
- jika kita ragu-ragu antara amanah atau tidak (50% - 50%) maka mubah hukum mengambilnya
- jika kita bukan orang daerah situ (hanya kebetulan lewat) maka serahkan kepada prabot masjid/musholla atau petugas alun-alun dan semisalnya
serahkan kepadanya agar dia yang mengumumkan

Selasa, 07 Juli 2020

Hukum Menggunakan Wifi Oranglain

Memakai Wifi Oranglain

Hukum memakai wifi oranglain tergantung keadaan wifinya, sebagai berikut:

1) jika wifi memang diperuntukkan untuk umum sepeti di alun-alun kota dan semisalnya maka hukumnya sudah jelas boleh, karena memang disediakan untuk umum
2) jika wifi tersebut milik rumah tetangga maka;   apabila wifinya tidak dikunci / password maka boleh digunakan
sedangkan apabila di password maka haram hukumnya menggunakan tanpa izin pemiliknya, karena dihukumi ghosob

Dalil:
 الإسلامي وأدلته للزحيلي (6/ 4790)
وَعَرَّفَ الشَّافِعِيَّةُ وَاْلحَنَابِلَةُ الْغَصْبَ بِأَنَّهُ : الْاِسْتِيْلَاءُ عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ (مِنْ مَالٍ أَوْ اِخْتِصَاصٍ) عُدْوَانًا، أَيْ عَلَى وَجْهِ التَّعَدِّيْ أَوْ الْقَهْرِ بِغَيْرِ حَقٍّ .
وَهٰذَا التَّعْرِيْفِ يَشْمُلُ أَخْذَ الْأَمْوَالِ الْمُتَقَوَّمَةِ وَالْمَنَافِعِ وَسَائِرِ الْاِخْتِصَاصَاتِ كَحَقِّ التَّحَجُّرِ (أَيْ إِحْيَاءِ الْأَرْضِ الْمَوَاتِ بِوَضْعِ الْأَحْجَارِ عَلَى حُدُوْدِهَا)، وَالْأَمْوَالِ غَيْرِ الْمُتَقَوَّمَةِ كَخَمْرِ الذِّمِّيِّ، وَمَا لَيْسَ بِمَالٍ، كَالْكَلْبِ وَالسِّرْجِيْنِ وَجِلْدِ الْمَيْتَةِ .

Lalu bagaimana solusi jika kita pernah melakukannya dan ingin bertaubat?
Maka yang harus dilakukan adalah datang kepada pemilik wifi tersebut untuk meminta ikhlasnya
jika pemilik tidak rihdo atau meminta bayaran maka dia harus membayar dengan harga yang sesuai pada umumnya

Dalil:

بغية المسترشدين  ص : 148
 (مسألة): غَصَبَ مَالاً مِنْ دَارِ مَالِكِهِ وَبَاعَهُ عَلَى جَمَاعَةٍ مُعَيَّنِيْنَ، وَجَبَ عَلَى كُلِّ مَنْ وَقَعَتْ يَدُهُ عَلَى شَيْءٍْ مِنْ ذَلِكَ ضَمَانُهُ وَرَدُّهُ إِلَى مَالِكِهِ إِنْ بَقِيَ وَبَدَلُهْ إِنْ تَلِفَ،
بغية المسترشدين     ص : 282
 (مَسْأَلَةٌ: ك): لِلتَّوْبَةِ ثَلَاثَةُ شُرُوْطٍ: النَّدَمُ عَلَى الْفِعْلِ، وَالْإِقْلَاعُ فِيْ اْلحَالِ، وَالْعَزْمُ عَلَى عَدَمِ الْعَوْدِ، وَيَزِيْدُ حَقُّ الْعِبَادِ بِرَدِّ الْمَظَالِمِ إِلَيْهِمْ، فَيَلْزَمُهُ تَمْكِيْنُ الْمُسْتَحِقُّ مِنَ الْعُقُوْبَةِ أَوْ اِسْتِحْلَالُهُ

https://www.facebook.com/106819317766595/posts/107740274341166/?sfnsn=wiwspmo&extid=aLIz8BspQaPqSjrR

Hukum Memulai dan Menjawab Salam Detail



1)      Sesama Jenis
Memulai salam kepada sesama jenis hukumnya sunnah dan bagi yang menjawabnya; pertama, jika dia sendirian hukum menjawabnya Fardhu ‘Ain baginya. Kedua, jika lebih dari satu orangnya hukum menjawabnya Fardhu Kifayah
2)      Lawan Jenis
a-      Mahrom
Maka hukum memulai dan menjawab salam kepada mahrom sama seperti hukum salam kepada sesama jenis
b-      Bukan mahrom
-          Memulai salam bagi seorang pria hukumnya makruh menurut pendapat yang mu’tamad dan ada pendapat yang mengharamkannya, sedangkan menjawab salam dari pria yang bukan mahrom bagi wanita hukumnya haram menurut kesepakatan ulama’
-          Memulai salam bagi seorang wanita hukumnya haram dan menjawab salam dari wanita yang bukan mahrom bagi seorang pria hukumnya makruh menurut pendapat yang mu’tamad da nada pendapat yang mengharamkannya
Para ulama’ menjelaskan kenapa bagi pria memulai dan menjawab salam dari wanita yang bukan mahrom hukumnya makruh, sedangkan bagi wanita hukumnya lebih berat yaitu haram. Disini ulama’ menjelaskan bahwa seorang wanita lebih menarik perhatian dan lebih besar persentasenya untuk menimbulkan fitnah, karenanya bagi wanita hukum memulai dan menjawab salam dari yang bukan mahrom hukumnya lebih berat (haram).
Dalam hukum islam ada sebuah kaidah yang berlaku dibanyak bab fiqih termasuk bab salam ini, yaitu;
فَإِنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ مُسْتَثْنَيَات
segala sesuatu pasti ada pengecualiannya”.
Dalam hal ini ada pengecualian, yaitu;
1)      Khusus seorang pria yang menjadi panutan (guru, ulama’, kepala desa dsb) boleh mengucapkan salam dan menjawab salam dari yang bukan mahrom dengan tujuan menyebarkan dan mengajarkan/membiasakan sunnah rasulullah berupa salam kepada pengikutnya.
2)      Boleh memulai dan menjawab salam dari yang bukan marom baik pria atau wanita yang sudah lanjut usia (tua) dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.
Dalil;
(وردِّ سلامٍ) مسنونٍ (عنْ جمعٍ) أي إثنينِ فأكثرَ، فيسقطُ الفَرضُ عن الباقين ويختصُّ بالثوابِ، فإِن رُدّوا كلهم  ولو مرتباً  أُثيبُوا ثوابَ الفرضِ كالمصلينَ على الجنازةِ. ولو سلمَ جمعٌ مرتبونَ على واحدٍ فردَّ مرّةً قاصداً جميعهم، وكذا لو أطلقَ على الأوجهِ أجزأَهُ ما لم يحصل فصلٌ ضارّ. ودخلَ في قولي مسنونٌ سلامُ امرأةِ على امرأةٍ أو نحوِ مَحْرمٍ أو سيدٍ أو زوجٍ وكذا على أجنبيّ وهي عجوزٌ لا تُشتهى. ويلزمها في هذهِ الصورةِ ردُّ سلامِ الرجلِ. أما مشتهاةٌ ليس معها امرَأَةٌ أخرى فيحرمُ عليها ردُّ سلامِ أجنبي، ومثلُه ابتداؤه ويُكرهُ ردُّ سلامِها، ومثلُهُ ابتداؤهُ أيضاً. والفرقُ أن ردَّها وابتداءَها يُطْمِعُهُ لطمعِهِ فيها أكثر  بخلافِ ابتدائِهِ وردهِ. قالَهُ شيخنا. ولو سلَّمَ على جمعِ نسوةٍ وجبَ ردُّ إحداهنَّ إذ لا يخشى فتنةً حينئذٍ. وخرجَ بقولي عن جمع الواحد فالردُّ فرضُ عينٍ عليهِ ولو كانَ المسلمُ صبياً مميزاً. ولا بدَّ في الإبتداءِ والردِّ من رفع الصوتِ بقدرِ ما يحصلُ بهِ السماعُ المحققُ ولَو في ثقيل السمع. نعم: إنْ مرَّ عليهِ سريعاً بحَيثُ لم يبلغْهُ صوتَهُ فالذي يظهر  كما قالَهُ شيخُنا  أنهُ يلزمه الرفعُ وسعيُهُ دونَ العدو خَلفَهُ. ويجبُ اتصالُ الردِّ بالسلامِ كاتصالِ قبولِ البيعِ بإِيجابِهِ. ولا بأسَ بتقديمِ عليكَ في ردِ سلامِ الغائبِ لأنَّ الفصلَ ليسَ بأجنبي. وحيثُ زالتِ الفوريَّةُ فلا قضاء  خلافاً لما يُوهمُهُ كلامُ الروياني. وَيَجبُ في الردِّ على الأصمِّ أن يجمعَ بينَ اللفظِ والإِشارةِ ولا يلزمهُ الردُّ إلا إن جمعَ لهُ المسلّمُ عليهِ بينَ اللفظِ والإِشارة (وابتداؤهُ) أي السلامُ عندَ إقبالِهِ أو انصرافِهِ على مُسَلِّمٍ غير نحوِ فاسقٍ أو مبتدع حتى الصبيَّ المميزَ وإن ظن عدمَ الردِّ (سنةٌ) عيناً للواحدِ وكفايةً للجماعةِ كالتمسيةِ للأكل لخبر: “أنَّ أولى الناسِ باللَّهِ مَنْ بَدأهُمْ بالسلامِ”. وأفتى القاضي بأن الإِبتداءَ أفضلُ كما أن إِبراءَ المعسرِ أفضلُ مِنْ إِنظارهِ وصيغةُ ابتدائهِ السلامُ عليكم أو سلامٌ عليكمُ، وكذا عليكمُ السلامُ أو سلامُ، لكنهُ مكروهٌ للنهي عنهُ ومع ذلكَ يجبُ الرد فيهِ  بخلافِ وَعليكمُ السلامُ بالواو  إذْ لا يصلحُ للإبتداءِ والأفضلُ في الإبتداءِ والردِّ الإتيانُ بصيغةِ الجمعِ حتى في الواحدِ لأَجلِ الملائكةِ وَالتعظيمِ وزيادةُ ورحمةُ اللَّهِ وبركاتُه ومغفرتُهُ. ولا يكفي الإِفرادُ للجماعةِ ولو سلمَ كلٌ على الآخرِ فإِن ترتبا كانَ الثاني جواباً: أي ما لم يقصدْ بهِ الإبتداءُ وحدَهُ كما بحثَهُ بَعضهُم وإلا لزمَ كلاًّ الردُّ.

]فروع]: يُسنُ إرسالُ السلامِ للغائبِ ويلزمُ الرسولُ التبيلغُ لأنهُ أمانةٌ ويجبُ أداؤها. ومحلُّهُ مَا إذا رَضيَ بتحمل تلكَ الأمانةِ. أما لو ردَّها فلا وكذا إن سكَتَ. وقال بعضُهُم: يجبُ على الموصى بهِ تَبليغهُ ومحلَّهُ  كما قالَ شيخنا  إن قَبِلَ الوصيةَ بلفظٍ يدلُّ على التحملِ ويلزمُ المُرسل إليهِ الردَّ فوراً باللفظِ في الإِرسالِ وبهِ أو بالكتابةِ فيها. وَيُنَدبُ الردُّ أيضاً على المبلِّغ والبداءةُ بهِ فيقولُ عليكَ وعليهِ السلامُ، للخبرِ المشهورِ فيهِ. وحكى بعضُهُم نَدبَ البدِاءَةِ بالمرسِلِ. وَيحرمُ أن يبدأ بهِ ذمياً ويستثنيه وجُوباً بقلبهِ إن كانَ مع مسلمٍ. ويسنُّ لمنْ دخلَ محلاًّ خالياً أنْ يقولَ السلامُ علينا وعلى عبادِ اللَّهِ الصالحينَ. ولا يندبُ السلامُ على قاضي حاجةِ بولٍ أو غائطٍ أو جماعٍ أو استنجاءٍ ولا على شاربٍ وآكلٍ في فمِهِ اللقمةُ لشغلِهِ ولا على فاسقٍ بَلْ يُسنُّ تركَهُ على مجاهرٍ بفسقِهِ ومرتكبِ ذنبٍ عظيمٍ لم يتبْ مِنهُ ومبتدعٍ إلا لعذرٍ أو خوفِ مفسدةٍ ولا على مُصلًّ وساجِدٍ ومُؤذنٍ وَمُقيمٍ وخطيبٍ وَمُستَمِعِهِ ولا ردَّ عليهم إلا مُستَمِعَ الخطيبِ فإِنهُ يجبُ عليهِ ذلكَ بل يكرهُ الردُّ لقاضي الحاجةِ والجامعِ والمستنجي وَيُسَنُّ للآكلِ وإنْ كانت اللقمةُ بفِيهِ. نعم: يُسنُّ السلامُ عليهِ بعد البلعِ وقبلَ وضعِ اللقمةِ بفيهِ، ويلزمُهُ الردُّ ويُسَنُّ الردُّ لمن في الحمامِ وملبّ باللفظِ ولمصلَ ومؤذنٍ ومقيمٍ بالإِشارةِ، وإلا فبعدَ الفراغِ أي إنْ قَرب الفَصل، ولا يجبُ عليهم. ويُسنُّ عندَ التلاقي سلامُ صغيرٍ على كبيرٍ وماشٍ على واقفٍ وراكبٍ عليهم وقليلين على كثيرينَ.


Rabu, 30 Oktober 2019

Hukum Belut

Pada hadis Musalsal no 90 (Kitab Musalsalat Al-Haditsiyah) Syekh Yasin Al-Fadani menyampaikan Sanad hingga Sahabat Ibnu Abbas perihal hewan jenis ikan bernama Al-Jirri. Beliau memberi penjelasan bahwa ikat tersebut panjang, halus dan tidak bersisik. Beliau menulis:

ويسميه الاندونيسون "بلوت"

"Orang-orang Indonesia menyebut ikan tersebut dengan Belut".

Ketika Ibnu Abbas ditanya ikan tersebut beliau menjawab:

ذاك السمك حرمته اليهود فاكلناه وكلوا السمك الجري فانه حلال طيب

"Ikan tersebut diharamkan oleh Yahudi. Maka kita memakannya. Makanlah belut itu, sebab halal dan baik"

Rabu, 19 Juni 2019

Hukum Mengucapkan Salam

(وردِّ سلامٍ) مسنونٍ (عنْ جمعٍ) أي إثنينِ فأكثرَ، فيسقطُ الفَرضُ عن الباقين ويختصُّ بالثوابِ، فإِن رُدّوا كلهم  ولو مرتباً  أُثيبُوا ثوابَ الفرضِ كالمصلينَ على الجنازةِ. ولو سلمَ جمعٌ مرتبونَ على واحدٍ فردَّ مرّةً قاصداً جميعهم، وكذا لو أطلقَ على الأوجهِ أجزأَهُ ما لم يحصل فصلٌ ضارّ. ودخلَ في قولي مسنونٌ سلامُ امرأةِ على امرأةٍ أو نحوِ مَحْرمٍ أو سيدٍ أو زوجٍ وكذا على أجنبيّ وهي عجوزٌ لا تُشتهى. ويلزمها في هذهِ الصورةِ ردُّ سلامِ الرجلِ. أما مشتهاةٌ ليس معها امرَأَةٌ أخرى فيحرمُ عليها ردُّ سلامِ أجنبي، ومثلُه ابتداؤه ويُكرهُ ردُّ سلامِها، ومثلُهُ ابتداؤهُ أيضاً. والفرقُ أن ردَّها وابتداءَها يُطْمِعُهُ لطمعِهِ فيها أكثر  بخلافِ ابتدائِهِ وردهِ. قالَهُ شيخنا. ولو سلَّمَ على جمعِ نسوةٍ وجبَ ردُّ إحداهنَّ إذ لا يخشى فتنةً حينئذٍ. وخرجَ بقولي عن جمع الواحد فالردُّ فرضُ عينٍ عليهِ ولو كانَ المسلمُ صبياً مميزاً. ولا بدَّ في الإبتداءِ والردِّ من رفع الصوتِ بقدرِ ما يحصلُ بهِ السماعُ المحققُ ولَو في ثقيل السمع. نعم: إنْ مرَّ عليهِ سريعاً بحَيثُ لم يبلغْهُ صوتَهُ فالذي يظهر  كما قالَهُ شيخُنا  أنهُ يلزمه الرفعُ وسعيُهُ دونَ العدو خَلفَهُ. ويجبُ اتصالُ الردِّ بالسلامِ كاتصالِ قبولِ البيعِ بإِيجابِهِ. ولا بأسَ بتقديمِ عليكَ في ردِ سلامِ الغائبِ لأنَّ الفصلَ ليسَ بأجنبي. وحيثُ زالتِ الفوريَّةُ فلا قضاء  خلافاً لما يُوهمُهُ كلامُ الروياني. وَيَجبُ في الردِّ على الأصمِّ أن يجمعَ بينَ اللفظِ والإِشارةِ ولا يلزمهُ الردُّ إلا إن جمعَ لهُ المسلّمُ عليهِ بينَ اللفظِ والإِشارة (وابتداؤهُ) أي السلامُ عندَ إقبالِهِ أو انصرافِهِ على مُسَلِّمٍ غير نحوِ فاسقٍ أو مبتدع حتى الصبيَّ المميزَ وإن ظن عدمَ الردِّ (سنةٌ) عيناً للواحدِ وكفايةً للجماعةِ كالتمسيةِ للأكل لخبر: “أنَّ أولى الناسِ باللَّهِ مَنْ بَدأهُمْ بالسلامِ”. وأفتى القاضي بأن الإِبتداءَ أفضلُ كما أن إِبراءَ المعسرِ أفضلُ مِنْ إِنظارهِ وصيغةُ ابتدائهِ السلامُ عليكم أو سلامٌ عليكمُ، وكذا عليكمُ السلامُ أو سلامُ، لكنهُ مكروهٌ للنهي عنهُ ومع ذلكَ يجبُ الرد فيهِ  بخلافِ وَعليكمُ السلامُ بالواو  إذْ لا يصلحُ للإبتداءِ والأفضلُ في الإبتداءِ والردِّ الإتيانُ بصيغةِ الجمعِ حتى في الواحدِ لأَجلِ الملائكةِ وَالتعظيمِ وزيادةُ ورحمةُ اللَّهِ وبركاتُه ومغفرتُهُ. ولا يكفي الإِفرادُ للجماعةِ ولو سلمَ كلٌ على الآخرِ فإِن ترتبا كانَ الثاني جواباً: أي ما لم يقصدْ بهِ الإبتداءُ وحدَهُ كما بحثَهُ بَعضهُم وإلا لزمَ كلاًّ الردُّ.

[فروع]: يُسنُ إرسالُ السلامِ للغائبِ ويلزمُ الرسولُ التبيلغُ لأنهُ أمانةٌ ويجبُ أداؤها. ومحلُّهُ مَا إذا رَضيَ بتحمل تلكَ الأمانةِ. أما لو ردَّها فلا وكذا إن سكَتَ. وقال بعضُهُم: يجبُ على الموصى بهِ تَبليغهُ ومحلَّهُ  كما قالَ شيخنا  إن قَبِلَ الوصيةَ بلفظٍ يدلُّ على التحملِ ويلزمُ المُرسل إليهِ الردَّ فوراً باللفظِ في الإِرسالِ وبهِ أو بالكتابةِ فيها. وَيُنَدبُ الردُّ أيضاً على المبلِّغ والبداءةُ بهِ فيقولُ عليكَ وعليهِ السلامُ، للخبرِ المشهورِ فيهِ. وحكى بعضُهُم نَدبَ البدِاءَةِ بالمرسِلِ. وَيحرمُ أن يبدأ بهِ ذمياً ويستثنيه وجُوباً بقلبهِ إن كانَ مع مسلمٍ. ويسنُّ لمنْ دخلَ محلاًّ خالياً أنْ يقولَ السلامُ علينا وعلى عبادِ اللَّهِ الصالحينَ. ولا يندبُ السلامُ على قاضي حاجةِ بولٍ أو غائطٍ أو جماعٍ أو استنجاءٍ ولا على شاربٍ وآكلٍ في فمِهِ اللقمةُ لشغلِهِ ولا على فاسقٍ بَلْ يُسنُّ تركَهُ على مجاهرٍ بفسقِهِ ومرتكبِ ذنبٍ عظيمٍ لم يتبْ مِنهُ ومبتدعٍ إلا لعذرٍ أو خوفِ مفسدةٍ ولا على مُصلًّ وساجِدٍ ومُؤذنٍ وَمُقيمٍ وخطيبٍ وَمُستَمِعِهِ ولا ردَّ عليهم إلا مُستَمِعَ الخطيبِ فإِنهُ يجبُ عليهِ ذلكَ بل يكرهُ الردُّ لقاضي الحاجةِ والجامعِ والمستنجي وَيُسَنُّ للآكلِ وإنْ كانت اللقمةُ بفِيهِ. نعم: يُسنُّ السلامُ عليهِ بعد البلعِ وقبلَ وضعِ اللقمةِ بفيهِ، ويلزمُهُ الردُّ ويُسَنُّ الردُّ لمن في الحمامِ وملبّ باللفظِ ولمصلَ ومؤذنٍ ومقيمٍ بالإِشارةِ، وإلا فبعدَ الفراغِ أي إنْ قَرب الفَصل، ولا يجبُ عليهم. ويُسنُّ عندَ التلاقي سلامُ صغيرٍ على كبيرٍ وماشٍ على واقفٍ وراكبٍ عليهم وقليلين على كثيرينَ.